Kampung Kapitan – sebuah kampung
atau bangunan peninggalan China yang terletak di Kelurahan 7 Ulu, Kecamatan
Seberang Ulu 1, Kapitan Palembang, Sumatera Selatan. Bukan hanya ciri khas
China yang melekat di sana, melainkan perpaduan antara budaya Palembang, China,
dan Belanda yang terasa kental mewarnai kawasan yang terletak di pinggir Sungai
Musi ini.
Munculnya Kampung Kapitan
berkaitan dengan runtuhnya Kerajaan Sriwijaya pada abad XI dan munculnya
Dinasti Ming di China pada abad XIV. Kampung ini diperkirakan sudah ada sekitar
325 tahun yang lalu, tidak diketahui secara pasti tepatnya, karena hilangnya
buku silsilah yang pertama, yaitu buku silsilah generasi 1-7, sedangkan yang
ada hanya buku silsilah generasi ke 8-12. Kapitan terakhir adalah generasi
ke-10 yakni Tjoa Ham Hin (1850), dan di angkat menjadi Kapitan oleh Belanda
pada tahun 1880 sampai beliau meninggal pada tahun 1921. Saat ini, generasi
ke-13 masih ada di kampung ini walaupun sudah cukup tua dan sudah lumpuh.
Sejak zaman Sriwijaya
hingga kini, Sungai Musi menjadi urat nadi jalur transportasi air untuk
menggerakkan perekonomian Kota Palembang dan sekitarnya. Alur mudik kapal,
perahu, getek, tongkang, tug boat maupun speedboat yang membawa hasil bumi
dapat terlihat. Namun, di balik padatnya aktivitas di sungai yang membelah Kota
Palembang menjadi dua, yakni Seberang Ulu dan Ilir ini ada yang lebih menarik
perhatian wisatawan, yaitu Kampung Kapitan.
Kampung Kapitan merupakan
kelompok 15 bangunan rumah panggung ala China yang terletak di Kelurahan 7 Ulu,
Kecamatan Seberang Ulu 1. Kampung ini pada awalnya merupakan tempat tinggal
seorang perwira keturunan China berpangkat kapitan (kapten) yang bekerja untuk
pemerintah Hindia Belanda.
Lahan di Seberang Ulu ini
memang untuk para pendatang dari luar Palembang. Uniknya, bentuk rumah
mengadopsi bentuk rumah limas (rumah tradisional Palembang) yang diperuntukkan
bagi para bangsawan Palembang. Akan tetapi, bentuk rumah juga mengadopsi tipologi
rumah masyarakat China dengan courtyard (ruang terbuka) pada bagian tengahnya
yang berguna untuk ventilasi udara dan cahaya.
Tradisi juga masih nampak
pada interior rumah yang dilengkapi meja altar pemujaan bagi leluhur. Perpaduan
ini dapat dipahami, sebab pada masa akhir pemerintahan Kesultanan Palembang,
masyarakat Tionghoa mulai membaur dengan masyarakat asli Palembang melalui
perkawinan atau memeluk agama Islam.
Pada masa pemerintahan
kolonial Belanda, Tionghoa mengalami perubahan dari masyarakat yang diawasi
menjadi masyarakat yang mempunyai kedudukan istimewa. Ini terlihat pada kolom
penyangga pada bagian teras depan yang pada rumah pertama berbahan kayu,
berganti menjadi kolom bata dengan gaya klasik eropa, walau dengan proporsi
yang disesuaikan dengan tampang bangunan.
Di kampung ini pastinya anda akan
melihat pemukiman penduduk dan sepertinya tidak semuanya etnis Tionghoa untuk
saat ini. Di kampung ini ada sebuah taman yang tampaknya baru di bangun,
sehingga memperindah dan membuat kampung ini tampak asri. Tetapi objek utama di
kampung ini adalah dua buah bangunan bersejarah yang menjadi tempat tinggal
Kapitan dari masa kolonial dulu.
Bangunan pertama adalah
rumah tempat tinggal Kapitan. Di rumah ini sekarang di tempati oleh keturunan
Kapitan, dan keluarga yang menempati rumah ini masih bermarga Tjoa, sama
seperti Kapitan ke-10. Ketika anda berkunjung ke rumah Kapitan yang berdinding
kayu, ruang pertama layaknya ruang tamu, ada kursi, meja serta foto-foto serta
lukisan yang unik.
Ada dua hal yang unik di
ruangan ini, pertama, foto Kapitan ke-10 dengan pakaian dinasnya tampak
bagaikan 3 dimensi, jika kita melihat dari sudut pandang di kanan foto, maka
sang Kapitan akan menghadap ke kanan, yaitu menghadap ke anda, begitupun
sebaliknya. Kedua, lukisan sang Kapitan, sama seperti foto, bedanya hanya mata
dan sepatunya yang tampak bergerak mengikuti arah anda melihat. Ternyata
keunikan ini juga belum lama diketahui pemilik, ternyata yang menyadarinya
adalah tamu yang datang ketempat itu, sehingga menambah keunikan tersendiri di
rumah itu.
Di ruangan kedua, ada tempat
sembahyang untuk kaum Tionghoa, anda boleh masuk ke sini, hanya saja wanita
yang sedang datang bulan dilarang masuk, karena merupakan tempat suci untuk
mereka sembahyang. Di rumah ini, anda bisa bertemu dengan generasi ke-13 yang
sudah tampak tua dan sudah lumpuh. Tapi masih bisa diajak sedikit berkomunikasi
walaupun kadang kurang jelas mendengar perkataannya, tapi jangan khawatir, kita
bisa bertanya lebih jelas dan detail pada menantu beliau yang sekarang juga
sudah cukup tua, tapi masih sehat dan lancar untuk berbicara.
Di gedung sebelahnya, yang
berbahan beton, merupakan kantor sang Kapitan. Di sinilah bangsa-bangsa Belanda
sering datang berkunjung dengan berbagai macam tujuan. Pada saat itu juga
sering diadakan pesta di gedung satu ini, pesta yang di hadiri oleh orang yang
memiliki status sosial dan ekonomi yang tinggi. Sebenarnya hanya dua bangunan
ini yang menjadi pokok utama wisata di Kampung Kapitan ini.
Selain itu, bagian bangunan yang
terbuat dari kayu tampak kusam. Namun, dinding kayu tidak rusak karena terbuat
dari kayu unglen yang tahan selama ratusan tahun.
Dari arah darat, hanya ada
satu jalan masuk ke Kampung Kapitan yang berjarak sekitar 800 meter dari bawah
Jembatan Ampera. Di jalan masuk terdapat dua gerbang yang daun pintunya hilang.
Akan tetapi, kini keanggunan Kampung Kapitan nyaris hilang. Hanya
bangunan-bangunan kuno yang masih tegak berdiri, meskipun banyak kerusakan
kecil di berbagai sudut.
0 komentar:
Posting Komentar