Jumat, 16 Mei 2014

Kampung Kapitan – sebuah kampung atau bangunan peninggalan China yang terletak di Kelurahan 7 Ulu, Kecamatan Seberang Ulu 1, Kapitan Palembang, Sumatera Selatan. Bukan hanya ciri khas China yang melekat di sana, melainkan perpaduan antara budaya Palembang, China, dan Belanda yang terasa kental mewarnai kawasan yang terletak di pinggir Sungai Musi ini.

Munculnya Kampung Kapitan berkaitan dengan runtuhnya Kerajaan Sriwijaya pada abad XI dan munculnya Dinasti Ming di China pada abad XIV. Kampung ini diperkirakan sudah ada sekitar 325 tahun yang lalu, tidak diketahui secara pasti tepatnya, karena hilangnya buku silsilah yang pertama, yaitu buku silsilah generasi 1-7, sedangkan yang ada hanya buku silsilah generasi ke 8-12. Kapitan terakhir adalah generasi ke-10 yakni Tjoa Ham Hin (1850), dan di angkat menjadi Kapitan oleh Belanda pada tahun 1880 sampai beliau meninggal pada tahun 1921. Saat ini, generasi ke-13 masih ada di kampung ini walaupun sudah cukup tua dan sudah lumpuh.
Sejak zaman Sriwijaya hingga kini, Sungai Musi menjadi urat nadi jalur transportasi air untuk menggerakkan perekonomian Kota Palembang dan sekitarnya. Alur mudik kapal, perahu, getek, tongkang, tug boat maupun speedboat yang membawa hasil bumi dapat terlihat. Namun, di balik padatnya aktivitas di sungai yang membelah Kota Palembang menjadi dua, yakni Seberang Ulu dan Ilir ini ada yang lebih menarik perhatian wisatawan, yaitu Kampung Kapitan.
Kampung Kapitan merupakan kelompok 15 bangunan rumah panggung ala China yang terletak di Kelurahan 7 Ulu, Kecamatan Seberang Ulu 1. Kampung ini pada awalnya merupakan tempat tinggal seorang perwira keturunan China berpangkat kapitan (kapten) yang bekerja untuk pemerintah Hindia Belanda.

Lahan di Seberang Ulu ini memang untuk para pendatang dari luar Palembang. Uniknya, bentuk rumah mengadopsi bentuk rumah limas (rumah tradisional Palembang) yang diperuntukkan bagi para bangsawan Palembang. Akan tetapi, bentuk rumah juga mengadopsi tipologi rumah masyarakat China dengan courtyard (ruang terbuka) pada bagian tengahnya yang berguna untuk ventilasi udara dan cahaya.

Tradisi juga masih nampak pada interior rumah yang dilengkapi meja altar pemujaan bagi leluhur. Perpaduan ini dapat dipahami, sebab pada masa akhir pemerintahan Kesultanan Palembang, masyarakat Tionghoa mulai membaur dengan masyarakat asli Palembang melalui perkawinan atau memeluk agama Islam.

Pada masa pemerintahan kolonial Belanda, Tionghoa mengalami perubahan dari masyarakat yang diawasi menjadi masyarakat yang mempunyai kedudukan istimewa. Ini terlihat pada kolom penyangga pada bagian teras depan yang pada rumah pertama berbahan kayu, berganti menjadi kolom bata dengan gaya klasik eropa, walau dengan proporsi yang disesuaikan dengan tampang bangunan.

Di kampung ini pastinya anda akan melihat pemukiman penduduk dan sepertinya tidak semuanya etnis Tionghoa untuk saat ini. Di kampung ini ada sebuah taman yang tampaknya baru di bangun, sehingga memperindah dan membuat kampung ini tampak asri. Tetapi objek utama di kampung ini adalah dua buah bangunan bersejarah yang menjadi tempat tinggal Kapitan dari masa kolonial dulu.
Bangunan pertama adalah rumah tempat tinggal Kapitan. Di rumah ini sekarang di tempati oleh keturunan Kapitan, dan keluarga yang menempati rumah ini masih bermarga Tjoa, sama seperti Kapitan ke-10. Ketika anda berkunjung ke rumah Kapitan yang berdinding kayu, ruang pertama layaknya ruang tamu, ada kursi, meja serta foto-foto serta lukisan yang unik.
Ada dua hal yang unik di ruangan ini, pertama, foto Kapitan ke-10 dengan pakaian dinasnya tampak bagaikan 3 dimensi, jika kita melihat dari sudut pandang di kanan foto, maka sang Kapitan akan menghadap ke kanan, yaitu menghadap ke anda, begitupun sebaliknya. Kedua, lukisan sang Kapitan, sama seperti foto, bedanya hanya mata dan sepatunya yang tampak bergerak mengikuti arah anda melihat. Ternyata keunikan ini juga belum lama diketahui pemilik, ternyata yang menyadarinya adalah tamu yang datang ketempat itu, sehingga menambah keunikan tersendiri di rumah itu.
Di ruangan kedua, ada tempat sembahyang untuk kaum Tionghoa, anda boleh masuk ke sini, hanya saja wanita yang sedang datang bulan dilarang masuk, karena merupakan tempat suci untuk mereka sembahyang. Di rumah ini, anda bisa bertemu dengan generasi ke-13 yang sudah tampak tua dan sudah lumpuh. Tapi masih bisa diajak sedikit berkomunikasi walaupun kadang kurang jelas mendengar perkataannya, tapi jangan khawatir, kita bisa bertanya lebih jelas dan detail pada menantu beliau yang sekarang juga sudah cukup tua, tapi masih sehat dan lancar untuk berbicara.
Di gedung sebelahnya, yang berbahan beton, merupakan kantor sang Kapitan. Di sinilah bangsa-bangsa Belanda sering datang berkunjung dengan berbagai macam tujuan. Pada saat itu juga sering diadakan pesta di gedung satu ini, pesta yang di hadiri oleh orang yang memiliki status sosial dan ekonomi yang tinggi. Sebenarnya hanya dua bangunan ini yang menjadi pokok utama wisata di Kampung Kapitan ini.
Selain itu, bagian bangunan yang terbuat dari kayu tampak kusam. Namun, dinding kayu tidak rusak karena terbuat dari kayu unglen yang tahan selama ratusan tahun.
Dari arah darat, hanya ada satu jalan masuk ke Kampung Kapitan yang berjarak sekitar 800 meter dari bawah Jembatan Ampera. Di jalan masuk terdapat dua gerbang yang daun pintunya hilang. Akan tetapi, kini keanggunan Kampung Kapitan nyaris hilang. Hanya bangunan-bangunan kuno yang masih tegak berdiri, meskipun banyak kerusakan kecil di berbagai sudut.

Kamis, 15 Mei 2014

Kota Palembang merupakan kota tertua di Indonesia berumur setidaknya 1382 tahun jika berdasarkan prasasti Sriwijaya yang dikenal sebagai prasasti Kedudukan Bukit. Menurut Prasasti yang berangka tahun 16 Juni 682. Pada saat itu oleh penguasa Sriwijaya didirikan Wanua di daerah yang sekarang dikenal sebagai kota Palembang. Menurut topografinya, kota ini dikelilingi oleh air, bahkan terendam oleh air. Air tersebut bersumber baik dari sungai maupun rawa, juga air hujan. Bahkan saat ini kota Palembang masih terdapat 52,24 % tanah yang yang tergenang oleh air (data Statistik 1990). Berkemungkinan karena kondisi inilah maka nenek moyang orang-orang kota ini menamakan kota ini sebagai Pa-lembang dalam bahasa melayu Pa atau Pe sebagai kata tunjuk suatu tempat atau keadaan; sedangkan lembang atau lembeng artinya tanah yang rendah, lembah akar yang membengkak karena lama terendam air (menurut kamus melayu), sedangkan menurut bahasa melayu-Palembang, lembang atau lembeng adalah genangan air. Jadi Palembang adalah suatu tempat yang digenangi oleh air.
Kondisi alam ini bagi nenek moyang orang-orang Palembang menjadi modal mereka untuk memanfaatkannya. Air menjadi sarana transportasi yang sangat vital, ekonomis, efisien dan punya daya jangkau dan punya kecepatan yang tinggi. Selain kondisi alam, juga letak strategis kota ini yang berada dalam satu jaringan yang mampu mengendalikan lalu lintas antara tiga kesatuan wilayah:
  • Tanah tinggi Sumatera bagian Barat, yaitu : Pegunungan Bukit Barisan.
  • Daerah kaki bukit atau piedmont dan pertemuan anak-anak sungai sewaktu memasuki dataran rendah.
  • Daerah pesisir timur laut.
Ketiga kesatuan wilayah ini merupakan faktor setempat yang sangat mementukan dalam pembentukan pola kebudayaan yang bersifat peradaban. Faktor setempat yang berupa jaringan dan komoditi dengan frekuensi tinggi sudah terbentuk lebih dulu dan berhasil mendorong manusia setempat menciptakan pertumbuhan pola kebudayaan tinggi di Sumatera Selatan. Faktor setempat inilah yang membuat Palembang menjadi ibukota Sriwijaya, yang merupakan kekuatan politik dan ekonomi di zaman klasik pada wilayah Asia Tenggara. Kejayaan Sriwijaya diambil oleh Kesultanan Palembang Darusallam pada zaman madya sebagai kesultanan yang disegani dikawasan Nusantara

Sriwijaya, seperti juga bentuk-bentuk pemerintahan di Asia Tenggara lainnya pada kurun waktu itu, bentuknya dikenal sebagai Port-polity. Pengertian Port-polity secara sederhana bermula sebagai sebuah pusat redistribusi, yang secara perlahan-lahan mengambil alih sejumlah bentuk peningkatan kemajuan yang terkandung di dalam spektrum luas. Pusat pertumbuhan dari sebuah Polity adalah entreport yang menghasilkan tambahan bagi kekayaan dan kontak-kontak kebudayaan. Hasil-hasil ini diperoleh oleh para pemimpin setempat. (dalam istilah Sriwijaya sebutannya adalah datu), dengan hasil ini merupakan basis untuk penggunaan kekuatan ekonomi dan penguasaan politik di Asia Tenggara.
Ada tulisan menarik dari kronik Cina Chu-Fan-Chi yang ditulis oleh Chau Ju-Kua pada abad ke 14, menceritakan tentang Sriwijaya sebagai berikut :Negara ini terletak di Laut selatan, menguasai lalu lintas perdagangan asing di Selat. Pada zaman dahulu pelabuhannya menggunakan rantai besi untuk menahan bajak-bajak laut yang bermaksud jahat. Jika ada perahu-perahu asing datang, rantai itu diturunkan. Setelah keadaan aman kembali, rantai itu disingkirkan. Perahu-perahu yang lewat tanpa singgah dipelabuhan dikepung oleh perahu-perahu milik kerajaan dan diserang. Semua awak-awak perahu tersebut berani mati. Itulah sebabnya maka negara itu menjadi pusat pelayaran.
Tentunya banyak lagi cerita, legenda bahkan mitos tentang Sriwijaya. Pelaut-pelaut Cina asing seperti Cina, Arab dan Parsi, mencatat seluruh perisitiwa kapanpun kisah-kisah yang mereka lihat dan dengan. Jika pelaut-pelaut Arab dan Parsi, menggambarkan keadaan sungai Musi, dimana Palembang terletak, adalah bagaikan kota di Tiggris. Kota Palembang digambarkan mereka adalah kota yang sangat besar, dimana jika dimasuki kota tersebut, kokok ayam jantan tidak berhenti bersahut-sahutan (dalam arti kokok sang ayam mengikuti terbitnya matahari). Kisah-kisah perjalanan mereka penuh dengan keajaiban 1001 malam. Pelaut-pelaut Cina mencatat lebih realistis tentang kota Palembang, dimana mereka melihat bagaimana kehiduapan penduduk kota yang hidup diatas rakit-rakit tanpa dipungut pajak. Sedangkan bagi pemimpin hidup berumah ditanah kering diatas rumah yang bertiang. Mereka mengeja nama Palembang sesuai dengan lidah dan aksara mereka. Palembang disebut atau diucapkan mereka sebagai Po-lin-fong atau Ku-kang (berarti pelabuhan lama).Setelah mengalami kejayaan diabad-abad ke-7 dan 9, maka dikurun abad ke-12 Sriwijaya mengalami keruntuhan secara perlahan-lahan. Keruntuhan Sriwijaya ini, baik karena persaingan dengan kerajaan di Jawa, pertempuran dengan kerajaan Cola dari India dan terakhir kejatuhan ini tak terelakkan setelah bangkitnya bangkitnya kerajaan-kerajaan Islam di Nusantara. Kerajaan-kerajaan Islam yang tadinya merupakan bagian-bagian kecil dari kerajaan Sriwijaya, berkembang menjadi kerajaan besar seperti yang ada di Aceh dan Semenanjung Malaysia.

sumber : http://www.palembang.go.id